Minggu, 10 November 2013

KOPERASI, HIDUP SEGAN MATI TAK MAU



Nasib koperasi di Indonesia semakin muram, tak ditangani sepenuh hati. Pemerintah agaknya lebih menekankan pada sistem ekonomi neoliberal. Cita-cita untuk menjadikan koperasi sebagai pondasi perekonomian Indonesia, agaknya semakin sulit. Kondisi koperasi, terutama KUD (Koperasi Unit Desa) yang kini keadaannya mati enggan hidup pun tak mau.

Bicara tentang koperasi seharusnya kita sedang membicarakan tentang kemakmuran rakyat, tentang pekumpulan otonom dari orang orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis.

Nyatanya, koperasi di Indonesia dewasa ini menunjukkan kondisi yang semakin parah. Apalagi pemerintah juga tidak melirik bagaimana caranya untuk tetap menyokong kehidupan koperasi. Padahal, sebagai negara berkembang, memajukan koperasi adalah salah satu cara yang baik untuk menghapus kemiskinan di Indonesia perlahan lahan. Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa koperasi di indonesia sulit untuk berkembang.

1. Visi & Misi
Tidak jelasnya misi yang diemban oleh koperasi dan unit yang menaunginya sebagai dampak dari tidak adanya ketegasan dalam keseriusan pengembangan misi utama koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Instansi terkait nampaknya lupa cita-cita mulia founding father koperasi sebagai pondasi perekonomian Indonesia, sebagai unit kerakyatan yang mempunyai nilai industri strategis yang menyangkut kepentingan keamanan dan hajat hidup orang banyak

2. Otonomi
Keberadaan koperasi yang sekedar menumpang dalam sebuah mata rantai internal sebuah instansi seolah hanya menjadi konspirasi sekunder dengan sekat keterbatasan dengan kepatuhan struktural. Akibatnya koperasi dan orang-orang yang terlibat aktif di dalamnya hanya memerankan fungsi pelaksana kebijakan, penggugur kewajiban dan tidak terlibat dalam segi teknis kebijakan untuk lebih mengakomodir perkembangan perekonomian terkini. Sementara yang berdiri sendiri dengan organisasi yang lebih bebas dengan keterbatasan pengetahuan dan pendidikan koperasi sangat lemah kewenangannya untuk melakukan intervensi dan tidak dapat berbicara banyak untuk menegakkan sendi-sendi koperasi, akhirnya mereka hanya memanfaatkan nama koperasi hanya sebatas papan nama ataupun berubah fungsi menjadi unit peminjaman saja yang seolah terlepas dari prinsip-prinsip perkoperasian.

3. Profesionalisme
Tidak banyaknya individu yang mengelola koperasi dengan alasan ekonomi mengakibatkan koperasi tidak mempunyai banyak pilihan, tidak selektif dalam menjaring anggota yang dijadikan tulang punggung roda perkoperasian. Akibatnya bisa ditebak, koperasi hanya berjalan di jalan buntu, keterbatasan SDM mengharuskan koperasi hanya memanfaatkan sumber daya yang ada, geliat profesionalisme dalam koperasi hanya sebatas mimpi, terhenti di debat kusir sebuah perhelatan wacana yang bertajuk seminar.

4. Kepercayaan Publik
Dampak yang lebih luas dari faktor diatas dapat kita lihat kondisi koperasi sekarang, berita di media banyak menceritakan sakitnya kondisi koperasi, matinya sebuah koperasi dan korupnya pengurus yang berkecimpung di koperasi. Tidak bisa disalahkan jika masyarakat hanya bisa terdiam ketika diajak bicara koperasi, krisis kepercayaan semakin memperburuk kesehatan sebuah unit ekonomi rakyat yang berjudul koperasi. Hanya cibiran, pandangan sebelah mata yang melengkapi opini publik terhadap keberadaan sebuah koperasi, seakan koperasi hanya menjadi unit usaha nomor sekian, kehadirannya hanya sebagai pelengkap dalan kancah perekonomian, sebagai x faktor yang menjanjikan kucuran dana dari pemerintah.

Seperti inilah kondisi koperasi di Indonesia sekarang. Dibutuhkan motivator ulung untuk menghidupkan kembali jiwa koperasi, diperlukan semangat muda dan profesionalisme tanpa batas untuk membangkitkan koperasi.

Daftar pustaka :