Nasib
koperasi di Indonesia semakin muram, tak ditangani sepenuh hati. Pemerintah
agaknya lebih menekankan pada sistem ekonomi neoliberal. Cita-cita untuk menjadikan
koperasi sebagai pondasi perekonomian Indonesia, agaknya semakin sulit. Kondisi
koperasi, terutama KUD (Koperasi Unit Desa) yang kini keadaannya mati enggan
hidup pun tak mau.
Bicara
tentang koperasi seharusnya kita sedang membicarakan tentang kemakmuran rakyat,
tentang pekumpulan otonom dari orang orang yang bersatu secara sukarela untuk
memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial,
dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka
kendalikan secara demokratis.
Nyatanya, koperasi
di Indonesia dewasa ini menunjukkan kondisi yang semakin parah. Apalagi pemerintah
juga tidak melirik bagaimana caranya untuk tetap menyokong kehidupan koperasi. Padahal,
sebagai negara berkembang, memajukan koperasi adalah salah satu cara yang baik
untuk menghapus kemiskinan di Indonesia perlahan lahan. Berikut ini adalah
beberapa alasan mengapa koperasi di indonesia sulit untuk berkembang.
1. Visi & Misi
Tidak jelasnya misi yang diemban oleh koperasi dan
unit yang menaunginya sebagai dampak dari tidak adanya ketegasan dalam
keseriusan pengembangan misi utama koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan. Instansi terkait nampaknya lupa cita-cita
mulia founding father koperasi sebagai pondasi perekonomian Indonesia, sebagai
unit kerakyatan yang mempunyai nilai industri strategis yang menyangkut
kepentingan keamanan dan hajat hidup orang banyak
2. Otonomi
Keberadaan koperasi yang sekedar menumpang dalam
sebuah mata rantai internal sebuah instansi seolah hanya menjadi konspirasi
sekunder dengan sekat keterbatasan dengan kepatuhan struktural. Akibatnya
koperasi dan orang-orang yang terlibat aktif di dalamnya hanya memerankan
fungsi pelaksana kebijakan, penggugur kewajiban dan tidak terlibat dalam segi
teknis kebijakan untuk lebih mengakomodir perkembangan perekonomian terkini.
Sementara yang berdiri sendiri dengan organisasi yang lebih bebas dengan
keterbatasan pengetahuan dan pendidikan koperasi sangat lemah kewenangannya
untuk melakukan intervensi dan tidak dapat berbicara banyak untuk
menegakkan sendi-sendi koperasi, akhirnya mereka hanya memanfaatkan nama
koperasi hanya sebatas papan nama ataupun berubah fungsi menjadi unit
peminjaman saja yang seolah terlepas dari prinsip-prinsip perkoperasian.
3. Profesionalisme
Tidak banyaknya individu yang mengelola koperasi
dengan alasan ekonomi mengakibatkan koperasi tidak mempunyai banyak pilihan,
tidak selektif dalam menjaring anggota yang dijadikan tulang punggung roda
perkoperasian. Akibatnya bisa ditebak, koperasi hanya berjalan di jalan buntu,
keterbatasan SDM mengharuskan koperasi hanya memanfaatkan sumber daya yang ada,
geliat profesionalisme dalam koperasi hanya sebatas mimpi, terhenti di debat
kusir sebuah perhelatan wacana yang bertajuk seminar.
4. Kepercayaan Publik
Dampak yang lebih luas dari faktor diatas dapat kita
lihat kondisi koperasi sekarang, berita di media banyak menceritakan sakitnya
kondisi koperasi, matinya sebuah koperasi dan korupnya pengurus yang
berkecimpung di koperasi. Tidak bisa disalahkan jika masyarakat hanya bisa
terdiam ketika diajak bicara koperasi, krisis kepercayaan semakin memperburuk
kesehatan sebuah unit ekonomi rakyat yang berjudul koperasi. Hanya cibiran,
pandangan sebelah mata yang melengkapi opini publik terhadap keberadaan sebuah
koperasi, seakan koperasi hanya menjadi unit usaha nomor sekian, kehadirannya
hanya sebagai pelengkap dalan kancah perekonomian, sebagai x faktor yang
menjanjikan kucuran dana dari pemerintah.
Seperti inilah kondisi koperasi di Indonesia
sekarang. Dibutuhkan motivator ulung untuk menghidupkan kembali jiwa koperasi,
diperlukan semangat muda dan profesionalisme tanpa batas untuk membangkitkan
koperasi.
Daftar pustaka
: