BAB
4
HUKUM
PERIKATAN
A.
Pengertian Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian
atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat
diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law
of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam
bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(personal
law).
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo
memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak
berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah
melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang
dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam
perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat
tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong
rambut tidak sampai botak.
B.
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH
Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang
timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming
)
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang
:
1.Perikatan (
Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena
undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang.
C.
Azas Azas Dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam
hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
• Asas Kebebasan
Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam
Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang
dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
• Asas
konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa
perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah :
1. Kata Sepakat
antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2. Cakap untuk
Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia
21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu
Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa
yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab
yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi
perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
D.
Wanprestasi dan Akibat Akibatnya
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan,
perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. perjanjian untuk memberikan/menyerahkan
suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa
menyewa, pinjam pakai.
2. perjanjian untuk berbuat sesuatu,
misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu,
misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan
kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka
dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang debitur dapat
berupa empat macam :
1. tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya;
2. melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Mengenai
perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan,
jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu
harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan,
maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas.
Sanksi yang
dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
1. membayar kerugian yang diderita oleh
kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
2. pembatalan perjanjian atau juga
dinamakan pemecahan perjanjian;
3. peralihan resiko;
4. membayar biaya perkara, kalau
sampai diperkarakan di depan hakim.
1.
Membayar Kerugian
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga.
Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian
dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut
tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya
adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh
pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot
rumah.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang,
jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur,
yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti
dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam
arti kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan
ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut
sebagai ganti rugi.
Pasal 1247
KUHPer menentukan :
“Si
berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau
sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal
tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang
dilakukan olehnya”.
Pasal 1248
KUHPer menentukan :
“Bahkan
jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si
berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang
diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah
terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan
mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah
uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat,
adalah berupa interest, rente atau bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang
berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus
dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya,
ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak
dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.
2.
Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku
surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah
menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus
dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266
KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat
batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal
demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika
syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan
atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna
kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu
bulan”.
Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara
otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim
itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif
membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya
perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan
perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk
menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat
pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim
menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian
akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk
membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat
memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya.
Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.
3.
Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal
1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang
menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan
resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu
dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si
penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan
mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya
sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
4.
Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang
debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa
pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang
lalai untuk melakukan :
1. pemenuhan perjanjian;
2. pemenuhan perjanjian disertai ganti
rugi;
3. ganti rugi saja;
4. pembatalan perjanjian; pembatalan
disertai ganti rugi.
E.
Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 KUHPer menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan,
yaitu:
1. Pembayaran;
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan;
3. Pembaharuan utang;
4. Perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Pencampuran utang;
6. Pembebasan utang;
7. Musnahnya barang yang terutang;
8. Batal/pembatalan;
9. Berlakunya suatu syarat batal dan
10. Lewatnya waktu (Daluawarsa).
Selain
cara-cara di atas, ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya :
berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya
salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang
pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam
perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur
sendiri dan tidak oleh seorang lain.
1.
Pembayaran.
Dengan “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara
sukarela. Yang wajib membayar suatu utang, bukan saja si berutang, tetapi juga
seorang kawan berutang dan seorang penanggung utang. Dalam pasal 1332 KUHPer
diterangkan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga
yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga yang bertindak
atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas
namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Agar
pembayaran itu sah, perlu orang yang membayar itu pemilik dari barang yang
dibayarkan dan berkuasa memindahtangankannya.
Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada
seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh
hakim atau oleh UU untuk menerima pembayaran-permbayaran bagi si
berpiutang.
2. Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
Merupakan cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang
(kreditur) menolak pembayaran. Cara itu adalah sebagai berikut :
Barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh
seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditur atas nama
debitur, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang
atau uang yang telah diperinci. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan
suatu proses perbal.
Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka
selesailah perkara pembayaran itu.
Apabila kreditur menolak, maka notaris/juru sita akan mempersilahkan
kreditur itu menandatangani proses perbal tersebut dan jika kreditur tidak suka
menaruh tanda tangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris/jurusita di atas
surat proses perbal tersebut. Dengan demikian ada bukti yang resmi bahwa
si berpiutang telah menolak pembayaran.
Langkah berikutnya: Debitur di muka Pengadilan Negeri dengan
permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran
pembayaran yang telah dilakukan itu.
Setelah
itu, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian utang piutang itu sudah
hapus. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan
Pengadilan Negeri atas tanggungan (resiko) si berpiutang.
Si berpiutang sudah bebas dari utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan
untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus
dipikul oleh si berutang.
3.
Pembaharuan utang atau Novasi
Menurut pasal 1413 KUHPer, ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu
pembaharuan utang atau novasi, yaitu:
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan
karenanya. Disebut dengan novasi objektif karena yang diperbaharui adalah
objeknya perjanjian.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang
lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut novasi
subjektif passif karena yang diganti adalah debiturnya;
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya. Disebut sebagai novasi subjektif aktif karena
yang diganti adalah krediturnya.
4.
Perjumpaan utang atau kompensasi
Merupakan cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur.
Jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara
mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut
dihapuskan.
5.
Perjumpaan tersebut terjadi demi hukum
Agar dua utang dapat diperjumpakan, perlulah dua utang itu seketika dapat
ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kedua utang itu
harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan
kwalitet yang sama, misalnya beras kwalitet Cianjur.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa utang piutang
antara kedua belah pihak itu telah lahir, terkecuali:
a. Apabila dituntutnya pengembalian suatu
barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya;
b. Apabila dituntutnya pengembalian barang
sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c. Terdapat sesuatu utang yang bersumber
pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita
(alimentasi).
Jadi
ketentuan di atas merupakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang
demikian.
6.
Pencampuran utang
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadi demi hukum suatu pencampuran
utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam
suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur
kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang
piutang dalam hal pencampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti
otomatis.
Pencampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga
untuk keuntungan para penanggung utangnya (“borg). Sebaliknya pencampuran yang
terjadi pada seorang penanggung utang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya
utang pokok.
7.
Pembebasan utang
Apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi
prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan
perjanjian, maka perikatan – yaitu hubungan utang piutan – hapus. Perikatan di
sini hapus karena pembebasan. Pembebasan suatu utang tidak boleh
dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan, misalnya pengembalian sepucuk tanda
piutang asli secara sukarela oleh si berpiutang kepada si berutang.
Pembebasan utang perlu diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat
dikatakan bahwa perikatan utang-piutang telah hapus karena pembebasan, sebab
ada juga kemungkinan seorang debitur tidak suka dibebaskan dari utangnya.
Perbedaan antara pembebasan utang dengan pemberian (“schenking”)
adalah bahwa pembebasan utang tidak menerbitkan suatu perikatan, justru
menghapuskan
perikatan,
dan dengan suatu pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya
suatu pemberian meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah dan pihak
yang menerima hibah dan perikatan itu bertujuan memindahkan hak milik atas
sesuatu barang dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
Musnahnya barang yang terutang Jika barang tertentu yang menjadi objek
perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,hingga sama
sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya,
asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum
ia lalai menyerahkannya.
8. Batal/pembatalan
Perjanjian-perjanjian yang kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau
kecakapan) dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang
tidak cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas
karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu. Meminta pembatalan
perjanjian yang kekurangan syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua
cara:
Pertama,
secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim.
Kedua,
secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi
perjanjian dan di situlah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.
Untuk penuntutan secara aktif diberi batas waktu 5 tahun, sedangkan untuk
pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu itu. Penuntutan
pembatalan akan tidak diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada “penerimaan
baik” dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu
kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah
melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
Ada pula kekuasaan yang oleh “Ordonansi Woeker” diberikan kepada
Hakim untuk membatalkan perjanjian, kalau ternyata antara kedua belah pihak
telah diletakkan kewajiban secara timbal balik, yang satu sama lain jauh tidak
seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang
pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.
9.
Berlakunya syarat batal
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada
suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik
secara menangguhkan lahirnya perikatan sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau
secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa
tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang
dimaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah
dilahirkan justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud
itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan
dengan suatu syarat batal.
Dalam Hukum Perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku
surut hingga saat lahirnya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang
apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali
pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu,
syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah
diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Namun berlaku
surutnya pembatalan itu hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu
mungkin dilaksanakan.
10.
Lewat waktu (Daluwarsa)
Menurut pasal 1946 KUHPer, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah
suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang.
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa
“acquisitif”, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan
(atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctif”.
Menurut pasal 1967, segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan,
maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu
tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak
usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagipula tak dapatlah diajukan terhadapnya
sesuatu
Daftar Pustaka :